Penari dari Sanggar Seni Sinduru.(Dok:Sanggar Seni Sinduru)
TENGGARONG, (KutaiRaya.com) : Berawal dari semangat keluarga besar yang menekuni dunia seni, sampai akhirnya terbentuk Sanggar Seni Sinduru, yang dibentuk pada 1 Januari 2014 di Desa Lebak Mantan, Kecamatan Muara Wis.
Sanggar ini hadir sebagai wadah bagi anak muda untuk menyalurkan bakat dan melestarikan kesenian, khususnya yang ada di Kutai pehuluan.
Penanggung Jawab Sanggar Seni Sindiru, Awang Fitra menjelaskan, lahirnya sanggar ini dimulai dari keluarganya yang memang sudah lama cinta dengan seni.
"Awalnya karena keluarga kami memang cinta dengan kesenian. Kami sepakat untuk membentuk komunitas seni, dan kami pusatkan di Desa Lebak Mantan karena melihat banyak potensi anak-anak muda, tapi masih minim wadah pembinaan," ujar Awang pada Kutairaya.com melalui via telepon, Sabtu (4/10/2025).
Sinduru sendiri diambil dari tanaman sinduru, tanaman ini dikenal kuat dan tahan terhadap berbagai cuaca, bahkan kebakaran. Seluruh bagiannya sangat bermanfaat mulai dari akar hingga bunga, sehingga dijadikan simbol ketahanan.
"Kami terinspirasi dari sifat tanaman ini, filosofinya, apapun musimnya, apapun tantangan modernisasi, kami ingin tetap kokoh menjaga tradisi," tambahnya.
Sanggar Seni Sinduru tidak hanya fokus pada tari, tetapi juga musik tradisional, pelestarian bahasa daerah hulu, mereka aktif membagikan konten edukatif di media sosial seperti TikTok dan Instagram dengan menerjemahkan bahasa hulu ke bahasa Indonesia agar lebih dikenal masyarakat.
"Karena memang banyak masyarakat atau di kota seperti Tenggarong, mungkin kurang mengetahui bahasa hulu kami," lanjutnya.
Setiap karya yang diangkat Sanggar Seni Sinduru berasal dari cerita rakyat dan legenda di Kutai Kartanegara, seperti Belian ataupun Kutai Adat Lawas.
Salah satu karya yang dibuat dan sudah ditampilkan adalah Gendawagi, kisah tentang pasangan yang diasingkan karena kondisi fisik dan kemiskinan.
"Kami tidak asal buat karya, harus observasi dulu, minta izin ke tetua adat, validasi cerita, dan prosesnya bisa sampai 4-5 bulan, jadi untuk tari kita jadikan seperti pesisir, pedalaman, kita jadikan satu sesuai yang ada dicerita," sebutnya.
Saat ini, sekitar 12 anggota aktif tergabung dalam Sanggar Seni Sinduru, terdiri dari berbagai jenjang dari SD hingga SMA.
Mereka berlatih di tanah milik keluarga yang masih berupa tanah terbuka, tanpa bangunan, namun ketika hujan, lokasi menjadi becek dan sulit digunakan untuk latihan.
"Kalau hujan ya becek, kalau panas banyak debu, tapi kami tetap latihan, tetap jalan," ucapnya.
Dari segi dukungan, Pemdes sempat memberikan bantuan berupa alat musik, namun bantuan dari Pemkab dinilai masih kurang optimal.
Meski begitu, pada tahun 2024, Dinas Pariwisata sempat mendukung Sinduru untuk tampil di ajang International Mask Festival di Solo.
"Supportnya belum maksimal, kami harap pemerintah lebih memperhatikan sanggar-sanggar di hulu seperti kami, karena budaya kami masih murni, belum tercampur budaya luar," tuturnya.
Ia berharap, kedepannya Pemerintah bisa lebih aktif memberkan informasi dan undangan event seni, serta memberikan bantuan fasilitas, tidak hanya untuk Sanggar Sinduru, tapi juga untuk sanggar-sanggar seni lain di pedalaman.
"Biar anak-anak ini semangat, biar budaya kita tetap hidup, jangan sampai budaya asli kita hilang karena kurang perhatian," tandasnya. (*zar)