Lahan KHDTK Unmul yang dirusak tambang.(Foto: Fahutan Unmul)
SAMARINDA,(Kutairaya.com): Penanganan kasus tambang ilegal di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Universitas Mulawarman (Unmul) memasuki bab baru. Setelah penetapan tiga tersangka, suara publik dan akademisi makin lantang mendesak pengusutan menyeluruh terhadap jaringan pelaku yang merusak kawasan konservasi pendidikan tersebut.
Tim Advokasi KHDTK dari Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas Hukum (LKBH FH) Unmul menilai, proses hukum tidak boleh berhenti pada para pelaku di lapangan saja. Mereka mendorong aparat untuk mengungkap aktor intelektual, pemodal, serta pihak yang memberikan izin secara ilegal.
"Kasus ini sudah masuk tahap penyidikan sejak awal Juli. Sampai tanggal 1 Juli, sudah diperiksa 12 saksi fakta dan 4 saksi ahli dari berbagai lembaga, termasuk ahli kehutanan, Kementerian ESDM, dan pakar hukum pidana," ungkap Ketua LKBH FH Unmul, Nur Arifudin, Jumat (01/08/2025).
Salah satu momen penting dalam proses penyidikan terjadi 4 Juli 2025, ketika tersangka berinisial R resmi ditahan di Rutan Polda Kaltim. Ia diduga kuat terlibat langsung dalam aktivitas penambangan liar di kawasan seluas 3,48 hektare. Polisi juga mengamankan satu unit excavator merek Hitachi dari lokasi tersebut. Aktivitas tambang ilegal di area KHDTK pun dinyatakan telah berhenti total.
Langkah berikutnya dilakukan pada 19 Juli 2025. Tim gabungan dari Gakkum Kehutanan Wilayah Kalimantan dan kepolisian berhasil menangkap dua tersangka tambahan. Mereka adalah D (42), Direktur PT TAA, dan E (38), operator alat berat yang digunakan dalam penambangan. Keduanya sempat dua kali absen dari panggilan penyidik sebelum akhirnya diamankan dan ditahan di Rutan Polresta Samarinda.
Namun, Tim Advokasi KHDTK menegaskan bahwa ketiga tersangka ini bukanlah akhir dari proses hukum. Dugaan keterlibatan pihak-pihak dengan pengaruh dan kekuasaan masih terbuka lebar.
"KHDTK bukan hanya kawasan konservasi, tapi juga merupakan laboratorium alam bagi pendidikan, penelitian, dan pelatihan. Kerusakan akibat tambang ilegal bukan hanya menghancurkan ekosistem, tapi juga merusak integritas akademik," tegasnya.
LKBH FH Unmul menyatakan akan terus memantau perkembangan perkara ini. Mereka telah menyiapkan sejumlah langkah lanjutan, seperti mendorong perluasan penyidikan, penyempurnaan berkas perkara, serta pengawasan saat pelimpahan tahap pertama ke Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur (Kaltim).
"Kami mengapresiasi tindakan aparat yang sudah dilakukan sejauh ini. Tapi kami juga mengingatkan, proses hukum ini harus bersih dari intervensi politik atau kepentingan ekonomi. Jangan beri ruang sedikit pun bagi pelaku kejahatan lingkungan untuk berlindung di balik kekuasaan," tutupnya. (skn)