• Jum'at, 17 Oktober 2025
logo
DPRD Provinsi Kalimantan Timur



Ilustrasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).(Foto: Hellosehat)


SAMARINDA,(Kutairaya.com) Penanganan penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja dinilai belum berjalan maksimal karena minimnya koordinasi antara Dinas Kesehatan dan Dinas Tenaga Kerja. Padahal, perlindungan kesehatan pekerja merupakan bagian penting dari sistem Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang semestinya melibatkan kedua instansi secara terpadu.

Data BPJS Ketenagakerjaan mencatat lebih dari 278 ribu kasus kecelakaan kerja terjadi di Indonesia sepanjang Januari hingga Agustus 2024. Kalimantan Timur menyumbang sekitar 7.500 kasus, menunjukkan tingginya resiko yang perlu ditangani secara serius.

Dr. Hari Dina dari Dinas Kesehatan Kota Balikpapan menjelaskan bahwa pihaknya telah memiliki pembimbing kesehatan kerja yang aktif mengunjungi perusahaan-perusahaan. Namun pelaksanaannya belum optimal karena masih kurangnya kerja sama dengan Dinas Tenaga Kerja. Selain itu, banyak perusahaan belum memiliki regulasi pelayanan kesehatan kerja yang sesuai.

“Beberapa perusahaan punya klinik, tapi tidak melaporkan angka penyakit akibat kerja. Kalaupun ada, kliniknya biasanya hanya mitra. Jadi tenaga kesehatannya tidak standby di lokasi,” ujarnya Kamis, (31/07/2025).

Persoalan lain juga muncul dari tidak tersedianya data hasil pemeriksaan kesehatan rutin atau medical check-up (MCU) karyawan. Kondisi ini menyulitkan Dinas Kesehatan dalam mendeteksi potensi penyakit akibat kerja dan melakukan tindakan preventif.

“MCU memang rutin dilakukan, tapi hasilnya tidak pernah kami terima. Ada klinik yang bilang tidak bisa memberikan data karena alasan tertentu. Akhirnya kami tidak bisa melakukan intervensi,” kata Dr. Rastrian dari Dinas Kesehatan Provinsi Kaltim.

Ia menekankan pentingnya data MCU sebagai dasar upaya pencegahan dan promosi kesehatan kerja. Tanpa data tersebut, pengawasan menjadi lemah dan rentan diabaikan.

Subkoordinator Lembaga K3 Kementerian Ketenagakerjaan RI, dr. Indra Setiawan, menyebut bahwa kerja sama lintas dinas sebenarnya bisa dilakukan.

“Kuncinya duduk bareng, sepakat, turun bareng, periksa bareng, bikin laporan bareng. Bisa kok. Dulu pernah jalan dan sukses,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa kewenangan untuk masuk ke perusahaan berada di Dinas Tenaga Kerja, sementara Dinas Kesehatan memiliki kepentingan dari sisi kesehatan umum dan kesehatan kerja. Karena itu, koordinasi antarinstansi harus diperkuat.

Indra juga menyoroti lemahnya pelaporan kecelakaan kerja ke dinas. Banyak perusahaan langsung mengajukan klaim ke BPJS Ketenagakerjaan tanpa melibatkan dinas, sehingga menyulitkan pemantauan dan penanganan jika terjadi persoalan lanjutan.

“Kalau tidak ditembuskan ke dinas, kami tidak tahu ada kecelakaan kerja. Kalau ternyata bukan kecelakaan kerja, klaim ke BPJS bisa ditolak. Ini penting dikoordinasikan,” jelasnya.

Ia juga mengingatkan agar permintaan data dari Dinas Kesehatan ke perusahaan tetap melalui jalur resmi, yakni melalui Dinas Tenaga Kerja. Menurutnya, perusahaan cenderung menolak memberikan data secara langsung jika tidak difasilitasi instansi yang berwenang.

“Dinas Kesehatan jangan langsung ke perusahaan, pasti ditolak. Koordinasinya tetap lewat Dinas Tenaga Kerja,” pungkasnya. (skn)



Pasang Iklan
Top