Sayur sayuran yang dijual pedagang.(Siti Khairunisa/Kutairaya)
SAMARINDA,(KutaiRaya.com): Ketidakstabilan harga sayuran di Kota Samarinda masih menjadi tantangan bagi pedagang, terutama di kawasan Lempake. Turun naik harga yang cepat, terutama pada jenis sayuran hijau seperti bayam, kangkung, dan sawi, membuat pelaku usaha kecil sulit memprediksi keuntungan maupun kebutuhan stok.
Khoiri (50), pedagang sayur di kawasan Lempake, mengaku sudah cukup lama berjualan dan terbiasa menghadapi dinamika pasar yang tidak menentu. Namun, menurutnya, sayuran hijau merupakan komoditas yang paling sering mengalami perubahan harga dalam waktu singkat.
"Yang sering naik turunnya cepat itu kan sayur jenis sawi, kangkung, bayam. Nah, itu kadang cepat naik, tapi kadang juga cepat turun," ujar Khoiri, Rabu (23/07/2025).
Ia menuturkan bahwa harga di tingkat petani bisa sangat rendah, bahkan hanya Rp1.000 per ikat, terutama saat pasokan sedang melimpah. Namun, ketika sayuran dijual melalui tengkulak atau masuk ke pasar-pasar kota, harga bisa melonjak dua kali lipat.
"Kalau harga petani itu biasa bisa sampai seribu. Tapi itu kita harga petani, gitu ya. Nanti kalau tengkulak yang jual ke pasar sudah beda lagi. Bisa sampai dua ribu," jelasnya.
Dalam beberapa waktu terakhir, menurut Khoiri, harga sebagian besar sayuran cenderung turun. Komoditas seperti sawi dan bayam saat ini hanya dihargai sekitar Rp1.200 hingga Rp1.500.
Namun, saat musim hujan atau banjir tiba, harga sayuran bisa melonjak drastis akibat tanaman petani yang rusak. Stok yang berkurang dan permintaan yang tetap tinggi membuat harga menjadi tak terkendali.
"Kalau masuk musim banyak banjir, itu harga sayur menonjol. Karena banyak yang rusak. Stok petani sedikit, sayur sedikit, sehingga keperluan kan harus setiap hari ada. Nah itu kan peningkatan harga sayur," katanya.
Hijrah (42), pedagang sayur lainnya, juga mengaku sering kebingungan menentukan harga jual ke pembeli karena turun naik yang tidak bisa diprediksi. Ia mengungkapkan bahwa kadang harga naik secara tiba-tiba dari pengepul tanpa pemberitahuan.
"Kadang pagi beli harganya segini, sore udah beda. Kita bingung juga mau jual berapa ke pembeli. Mau naikin, takut nggak laku. Mau ditahan, bisa rugi," ujarnya.
Menurut Hijrah, kondisi seperti ini membuat pedagang kecil seperti dirinya tidak bisa menabung atau menyisihkan hasil penjualan untuk kebutuhan lain, karena penghasilan tidak menentu.
"Kalau harga stabil, enak. Bisa ngatur uang belanja. Tapi kalau naik turun terus, kadang hasil jual habis buat beli lagi," tambahnya.
Fenomena harga sayur yang tidak stabil tersebut menunjukkan adanya ketergantungan yang tinggi terhadap faktor cuaca, distribusi yang panjang, serta belum stabilnya ketersediaan stok lokal.
Kondisi ini diakui oleh pemerintah daerah sebagai tantangan tersendiri, terutama bagi pedagang kecil yang terdampak langsung oleh lonjakan maupun penurunan harga yang tiba-tiba.
Kepala Dinas Perdagangan Kota Samarinda, Nurrahmani, menyebut bahwa pihaknya terus memantau perkembangan harga di pasar dan melakukan intervensi apabila terjadi lonjakan yang signifikan. Meski penurunan harga belum masuk dalam kriteria intervensi langsung, pemantauan tetap dilakukan secara berkala.
"Ketika ada kenaikan yang sangat besar, mau nggak mau kita operasi pasar. Karena memang biasanya pun tidak selalu naik," ungkap Nurrahmani.
Sebagai upaya jangka panjang untuk menjaga kestabilan pasokan dan mengurangi ketergantungan pada distribusi dari luar daerah, ia mendorong masyarakat untuk mengembangkan produksi secara mandiri melalui kebun percontohan atau demplot di lingkungan sekitar.
"Saya nyarankan sih kalau bisa itu bikin demplot lah, kajian kecil tentang menanam secara praktik. Kalau sudah kondisi bisa, mungkin setahun lagi atau dua tahun tidak apa-apa. Yang penting, it’s okay bahwa dengan kondisi orang lagi sibuk tentang kekurangan, kita sudah punya," tuturnya. (skn)