• Kamis, 18 Desember 2025
logo
DPRD Provinsi Kalimantan Timur



Ilustrasi Gereja Toraja (Foto:@daniel.3593)


SAMARINDA (KutaiRaya.com) Polemik pendirian rumah ibadah Gereja Toraja di kawasan Sungai Keledang, Kecamatan Samarinda Seberang belum kunjung usai. Hingga saat ini terus bergulir seiring adanya dugaan pemalsuan tanda tangan dalam proses pengumpulan syarat administratif.

Ketua Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Kalimantan Timur (AAKBB Kaltim), Hendra Kusuma, membantah tuduhan tersebut dan menegaskan bahwa pihaknya telah mengikuti seluruh prosedur sesuai ketentuan yang berlaku.

Hendra mengungkapkan bahwa seluruh berkas telah melalui proses panjang, termasuk sempat berada di kantor kelurahan selama lebih dari satu bulan sebelum diserahkan ke Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

"Jadi, berkas itu sebelum diserahkan ke FKUB, itu satu setengah bulan di kantor lurah. Sekarang pertanyaannya, satu setengah bulan lurahnya cuma lihatin. Terus tiba-tiba langsung dia tanda tangan. Kan dia lurah. Harusnya dia verifikasi dong," ucap Hendra, Rabu (09/07/2025).

Terkait dugaan pemalsuan tanda tangan, Hendra menyerahkan sepenuhnya pada proses hukum. Ia menyatakan bahwa pihaknya terbuka jika ada warga yang ingin melaporkan persoalan tersebut.

"Ketika ada persoalan mereka bilang ini ada pemalsuan , kita persilahkan mereka untuk melaporkan itu," ujarnya.

Ia juga menyayangkan adanya anggapan bahwa pihak gereja tidak hadir dalam rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar DPRD Kota Samarinda. Menurutnya, ketidakhadiran itu bukan disengaja, melainkan karena pihak gereja tidak menerima undangan resmi.

"Nah, cuma di situ yang kami sesalkan adanya narasi bahwa sangat disayangkan kami ini dari pihak gereja tidak hadir di dalam RDP kemarin. Padahal kami itu tidak pernah mendapatkan undangan, itu masalahnya," tegasnya.

Meski demikian, Hendra menegaskan pihaknya tidak keberatan apabila proses pendirian rumah ibadah ditinjau ulang, apabila ditemukan kelalaian dalam prosesnya.

"Kalau memang terbukti ada kelalaian, ada kekeliruan silahkan ditinjau ulang. Atau misalnya mau dibatalkan silahkan, kalau memang itu memenuhi persyaratan," tambahnya.

Sementara itu, sebelumnya Ketua Komisi IV DPRD Kota Samarinda, Mohammad Novan Syahronny Pasie, menjelaskan bahwa RDP digelar sebagai tindak lanjut atas aduan dari Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Sungai Keledang. Oleh karena itu, pihaknya tidak mengundang langsung pihak gereja dalam forum tersebut.

"Semua pihak telah menyampaikan kondisi yang ada di lapangan. Dari FKUB maupun Kemenag, sudah dijelaskan bahwa rekomendasi telah dikeluarkan sesuai tahapan yang dijalankan," ujar Novan, Selasa (08/07/2025)

Namun, Novan juga mengakui bahwa muncul permasalahan baru yang disampaikan kuasa hukum warga RT 24 terkait validitas tanda tangan warga.

"Masalahnya muncul saat disampaikan oleh kuasa hukum warga RT 24, bahwa ada prosedur yang dinilai belum lengkap. Bahkan ada pernyataan bahwa persetujuan dari warga disampaikan tanpa mereka mengetahui peruntukannya untuk rumah ibadah," ungkapnya.

Ia menegaskan bahwa dugaan pemalsuan tanda tangan masih dalam proses hukum, dan belum dapat disimpulkan. DPRD, menurutnya, akan terus mendorong penyelesaian melalui dialog dan musyawarah.

"Langkah selanjutnya, kami akan memfasilitasi pertemuan lanjutan yang mempertemukan semua pihak, baik pihak pengusul gereja maupun masyarakat sekitar. Pertemuan ini nantinya juga akan melibatkan DPRD, Pemkot melalui Kesbangpol, serta Kemenag," terangnya.

Lurah Sungai Keledang, Rahmadi, turut menanggapi persoalan ini. Ia menjelaskan bahwa dirinya hanya berperan untuk mengetahui keberadaan domisili pemohon, bukan sebagai pihak yang melakukan verifikasi detail atas dokumen permohonan.

"Suratnya betul memang untuk pendirian gereja. Dan saya sifatnya hanya mengetahui seperti yang disampaikan ketua FKUB bahwa lurah hanya mengetahui bahwa itu memang domisilinya di sana," ujarnya.

Rahmadi membenarkan bahwa ada satu warga yang mengaku tanda tangannya dipalsukan, namun ia menolak anggapan bahwa masyarakat menolak keberadaan gereja karena alasan intoleransi.

"Kalau intoleran tidak, karena berarti ada pelarangan untuk beribadah dan segala macam ada gangguan. Jadi sebenarnya masyarakatnya bukan menolak terhadap pendirian gereja tersebut. Tapi administrasinya itu ada hal yang tidak sesuai," tegasnya.

Penasihat hukum warga RT 24, Muhammad Sulianto, menambahkan bahwa warga tidak menolak pendirian gereja, tetapi meminta agar prosesnya ditunda sampai semua syarat formal dan legalitasnya dinyatakan lengkap.

"Jadi pada intinya kami tidak menolak, tapi meminta penundaan karena dari segi formalitas dan legalitasnya belum selesai. Kemudian, urgensinya (pembangunan gereja) belum sangat dibutuhkan," tuturnya.

Ia juga mengonfirmasi bahwa pelaporan dugaan pemalsuan tanda tangan telah dilakukan, namun akan dicabut apabila semua pihak sepakat menyelesaikan masalah melalui musyawarah.

"Memang sudah ada pelaporan tapi hanya efek untuk menyatakan ada yang dipalsukan tapi nanti di kala terjadi penyelesaian dalam musyawarah mufakat, kita akan mencabut dengan sendirinya," tambahnya.

Sulianto menuturkan bahwa mayoritas warga RT 24 merupakan umat Muslim, dan hanya sekitar 14 persen yang beragama non-Muslim. Namun, ia menilai tingkat toleransi masyarakat cukup tinggi.

"Sebagai umat Islam ya harus menyetujui dong, tidak ada kata menolak, tapi kami mewakili masyarakat kembali menegaskan, urgensinya rumah ibadah itu dirasa belum ada menurut masyarakat," ucapnya.

Ia menambahkan, Pemkot Samarinda sempat menawarkan lokasi alternatif bagi pembangunan gereja, namun pihak gereja tetap memilih lokasi yang diajukan sebelumnya.

"Sudah pernah ditawarkan (lokasi lain) oleh pemerintah kota dengan tempat yang bagus juga tapi teman-teman yang di sana tetap menginginkan tempat yang itu. Tapi itu kan hak mereka ya. Intinya kita cuma minta ditunggu saja dulu," tutupnya.

Hingga kini, polemik pendirian Gereja Toraja di Sungai Keledang masih terus berlanjut. DPRD Kota Samarinda berencana memfasilitasi pertemuan lanjutan untuk menyatukan pendapat semua pihak, dengan harapan dapat menemukan solusi yang adil tanpa menimbulkan konflik sosial yang lebih luas. (skn)



Pasang Iklan
Top