
Andria Septy, Penulis Samarinda.(Siti Khairunnisa/Kutairaya)
SAMARINDA (Kutairaya.com): Samarinda melahirkan cukup banyak seseorang yang berbakat di bidang seni, salah satunya adalah Andria Septi. Perempuan kelahiran 11 September ini menapaki perjalanan kepenulisan dari rasa kagum pada novel fantasi dan karya sastra populer.
Sejak kecil, Septi sudah akrab dengan kebiasaan menulis. Namun, mimpi untuk menjadi novelis baru semakin kuat ketika ia tenggelam dalam dunia Harry Potter dan karya-karya Dee Lestari.
"Sebenarnya dari lama saya bercita-cita jadi novelis. Gara-gara baca Supernova, saya jadi kepikiran bisa juga bikin cerita sendiri," kenangnya, Kamis (21/8/2025).
Langkah awalnya ditempuh dengan cara sederhana. Pada 2016, ia menerbitkan novel indie berjudul Calista
Titik balik datang pada 2017, ketika Septi bergabung di komunitas Sindikat Lebah Berpikir (SLB). Di forum diskusi sastra ini ia untuk pertama kalinya bersentuhan serius dengan puisi dan literatur.
"Semenjak ikut SLB saya mulai suka puisi, mulai kenal nama-nama penyair Indonesia sampai dunia. Dari situ saya merasa ada ruang belajar yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan," ujarnya.
Perjalanannya terus berlanjut. Puisi dan cerpennya menembus media nasional seperti Jawa Pos, Tempo, hingga Kompas.id. Tahun 2020, ia terpilih sebagai Emerging Writer di Makassar International Writers Festival (MIWF).
Undangan menghadiri festival akhirnya terealisasi pada 2022 setelah sempat tertunda pandemi. Momen itu memperluas jejaringnya sekaligus menguatkan posisinya sebagai penulis muda dari Kalimantan.
Salah satu pencapaian penting hadir ketika puisinya Lensa Nieuwe Wijk Yogya meraih juara kelima dalam Sayembara Puisi Nasional Festival Sastra Yogyakarta 2023. Tahun berikutnya, ia menjalani residensi seniman di Yogyakarta dalam program Joffis (Jogjakarta Fotografis Festival).
Meski demikian, perjalanan itu tak lepas dari hambatan. Dukungan keluarga sempat minim, bahkan membeli buku pun harus dilakukan diam-diam.
"Jangankan beli buku sastra, buku fiksi saja dianggap pemborosan. Jadi dulu saya sering sembunyi-sembunyi kalau beli buku,"katanya.
Tantangan lain datang dari kenyataan bahwa puisi tidak seramai prosa dalam hal pembaca.
"Puisi itu sering dianggap sulit dipahami, padahal sebenarnya yang penting dibaca dulu saja," tambahnya.
Namun, justru dari tantangan itulah Septi menemukan kekuatan. Baginya, menulis bukan sekadar hobi, melainkan ruang bermain dan cara untuk kembali menyentuh masa kecil yang jauh.
"Ketika saya menulis puisi, rasanya seperti bisa kembali ke masa lalu. Bisa main lagi, bisa meneliti ulang kenangan. Itu sesuatu yang menyenangkan," katanya.
Kini, meski aktif menulis, Septi juga menekuni pekerjaan sebagai pengajar les privat untuk menopang keseharian. Baginya, menulis bukan sekadar profesi yang bisa segera memberi keuntungan materi, melainkan jalan panjang penuh konsistensi dan kecintaan.
"Saya tetap bertahan karena memang suka. Menulis itu passion, bahkan kalau disebut penderitaan pun saya menikmatinya," ujarnya.
Dengan konsistensi yang ia jalani sejak 2017, Andria Septy membuktikan bahwa kata-kata bisa dijahit menjadi ruang bermain sekaligus senjata untuk merekam realitas dan kegelisahan. Salah satu bukunya yang terbit berjudul Tata Laras Gema Rima dapat dijumpai di Gramedia. (skn)