• Jum'at, 12 September 2025
logo
DPRD Provinsi Kalimantan Timur



Wakil Bupati Kukar Bersama Anggota DPRD Berkunjung ke Mall Pelayanan Perlindungan Perempuan dan Anak.(Andri Wahyudi/KutaiRaya)


TENGGARONG, (KutaiRaya.com): Dugaan kasus pencabulan santri di Pondok Pesantren (Ponpes) di Tenggarong Seberang yang dilakukan salah oknum pengajar, jadi atensi serius Pemkab Kukar. Pemkab akan mengambil langkah tegas dan mendorong agar pondok pesantren tersebut ditutup.

"Kami meminta dinas terkait, teman-teman DPRD di Komisi 4 bersama juga dengan lembaga terkait yakni Kemenag untuk segera melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP), duduk bersama untuk memastikan bahwa ada sanksi tegas untuk pondok pesantren ini. Artinya bisa saja nanti berujung kita tutup pondok pesantren ini. Dan kami sangat mendukung itu," kata Wakil Bupati Kukar H. Rendi Solihin, usai berkunjung ke Mall Pelayanan Perlindungan Perempuan dan Anak, yang berada di Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Melayu, Tenggarong Jumat (15/8/2025).

Tindakan penutupan pondok pesantren tersebut supaya menjadi efek jera apabila ini terjadi di pondok pesantren lainnya. Sebab isu terkait pencabulan di lingkungan pondok pesantren ini sudah meresahkan masyarakat. Sehingga pemerintah daerah merespon dengan melakukan koordinasi dengan anggota DPRD dan DP2PA Kukar untuk mencarikan solusi.

"Karena sudah banyak sekali kasus-kasus terjadi di Kukar di tahun 2025 ini. Dari awal tahun 2025 sampai bulan Agustus, ada 133 kasus yang dilaporkan di mall pelayanan pelindungan perempuan dan anak. Artinya ini menjadi hal serius di Kukar yang harus kita pantau," kata Rendi.

Apalagi, ditengah pemerintah sedang sibuk membenahi sistem dunia pendidikan yang ada di Kukar dari semua tingkatan, SD, SMP, swasta, bahkan pondok pesantren yang ada di Kukar. Ada isu pelecehan, yang terjadi di Kukar tepatnya di pondok pesantren.

"Dan ini bukan kejadian pertama kali di Kukar dan melibatkan banyak sekali korban. Korban juga terganggu mentalnya, karena kejadian-kejadian pelecehan seksual yang dilakukan oleh pengurus pondok pesantren. Baik itu ustadznya ataupun pengurus yayasannya," tegasnya.

Untuk itu, kasus ini harus di pantau dengan baik supaya betul-betul diadil dan pondok ditindak dengan tegas apabila memang ini ada keterkaitannya dengan yayasan. Karena berdasarkan informasi dari DP2PA korbannya bukan cuma tujuh anak, terus bertambah dan pelakunya juga bukan cuma satu orang tapi lebih.

"Bahkan kejadian juga bukan kejadian pertama kali di pondok yang sama, di tahun 2021 sempat juga mencuat isu ini namun waktu itu tidak ada saksi, tidak ada bukti sehingga itu kasusnya ditutup," ujarnya.

Kemudian setelah berapa tahun berlalu, yang dulu menjadi korban sekarang menjadi pelaku. Sehingga ini merupakan efek bom waktu sebenarnya dan kasus ini tidak bisa dibiarkan di Kukar.

"Kita tidak ingin ini mencoreng dunia pendidikan yang ada di Kutai Kartanegara. Kita ingin semua pondok pasantren di Kutai Kartanegara betul-betul bisa menciptakan generasi yang baik untuk Kutai Kartanegara. Itu misi kita semua, itu cita-cita kita semua, menciptakan, melahirkan sumber daya manusia yang baik, yang berprestasi di Kukar. Tapi kalau dunia pendidikannya terjadi permasalahan-permasalahan seperti ini, ini harus kita tindak dengan tegas," ujarnya.

Sedangkan untuk korban, pemerintah Kukar sudah melakukan pendampingan psikologi terhadap korban, pendampingan hukum juga dilakukan untuk korban-korban yang melaporkan kejadian ini. Dan sudah ditangani oleh pihak yang berwenang.

Berdasarkan informasi, ada pelaku-pelaku baru sehingga ini tidak boleh dibiarkan karena masih ada ratusan santri yang ada di pondok tersebut yang tinggal dalam ketidak tenangan, kekhawatiran. Artinya kegelisahan membuat mereka bisa belajar dengan tidak tenang, karena khawatir akan kejadian-kejadian tersebut bisa terulang lagi kepada korban-korban lainnya.

Sementara itu, Kuasa Hukum dari TRC PPA Kaltim Sudirman mengucapkan terima kasih kepada Wakil Bupati atas atensi kepada korban, kemudian bagaimana nanti pemulihan korban selanjutnya setelah proses dari kepolisian.

"Untuk para korban masih tetap bersekolah, apabila mereka mendapatkan kesusahan untuk mendapatkan sekolah yang baru maka pemerintah ataupun Dinas DP2PA yang akan membantu untuk memfasilitasi mendapatkan sekolah yang baru atau rekomendasi ke sekolah yang baru," jelasnya.

Ia menyebut, kejadian pencabulan ini bukan yang pertama, tapi di tahun 2021 itu sudah ada. Jika di tahun 2021 itu ada penindakan yang jelas, maka tidak akan ada korban di tahun 2025 ini. Dan di kasus tahun 2021, kejadian pencabulan itu belum lahir Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) nomor 12 tahun 2022. Tetapi dengan adanya Undang-Undang tersebut lebih memudahkan bagi aparat penegak hukum untuk menindak setiap kekerasan atau pelecehan seksual yang minim kesaksian.

"Dan dengan adanya Undang-Undang TPKS, kami yakin aparat penegak hukum bisa melakukan penetapan tersangka, bagi para pelaku-pelaku yang punya kebiasaan hobi melecehkan perempuan maupun laki-laki,"tutupnya. (dri)



Pasang Iklan
Top