• Jum'at, 17 Oktober 2025
logo
DPRD Provinsi Kalimantan Timur



Aksi GMKI di depan Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kota Samarinda. (Siti Khairunnisa/Kutairaya)


SAMARINDA, (Kutairaya.com): Aksi Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) di depan Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kota Samarinda, Senin (28/7/2025), tak hanya menyoroti kasus lokal pendirian gereja, tapi juga mempersoalkan regulasi nasional yang dinilai membuka ruang bagi praktik intoleransi.

Dalam orasinya, GMKI secara tegas meminta pemerintah mencabut Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan 8 tahun 2006. Aturan tersebut dianggap sebagai pintu masuk munculnya pelarangan ibadah dan penolakan pendirian rumah ibadah yang marak terjadi di berbagai daerah.

"Khusus di Samarinda, kami menyoroti kasus pendirian gereja di wilayah Samarinda Seberang yang terkesan terhambat secara administrasi," ungkap Ketua GMKI Cabang Samarinda, Ezra Julio Parapean.

Ezra menjelaskan, aksi ini membawa tiga tuntutan utama. Pertama, mendesak pencabutan peraturan bersama dua menteri yang disebutnya sebagai akar dari berbagai kasus diskriminasi kebebasan beragama.

"Kami mencatat, tahun ini saja sudah terjadi lebih dari 10 kasus pelarangan ibadah, penolakan pembangunan rumah ibadah, hingga pencabutan izin mendirikan bangunan (IMB) rumah ibadah di berbagai wilayah," tegasnya.

Tuntutan kedua, GMKI meminta Kemenag dan Pemkot Samarinda aktif menjaga kerukunan antarumat beragama agar tidak terjadi kasus intoleransi di kota ini. Ketiga, mereka mendesak aparat penegak hukum agar menindak tegas oknum-oknum yang menghalangi kebebasan beribadah.

Menanggapi tuntutan itu, Plt. Kepala Kantor Kemenag Samarinda, Mustofa Nuri, menyatakan komitmen pihaknya dalam menjaga toleransi dan akan menindaklanjuti aspirasi yang disampaikan GMKI.

"Tentu ini akan menjadi usulan bagi kami. Namun, kami menegaskan bahwa Kemenag Samarinda akan terus menjaga toleransi antarumat beragama di Samarinda," tutur Mustofa. (skn)



Pasang Iklan
Top