• Selasa, 16 September 2025
logo
DPRD Provinsi Kalimantan Timur



Kerajinan manik bermotif Dayak.(Foto:Siti/Kutairaya)


SAMARINDA (KutaiRaya.com) Kerajinan manik-manik menjadi salah satu warisan budaya yang terus hidup di Samarinda. Meski zaman bergeser dan tren terus berubah, seni merangkai manik dengan motif khas Dayak tetap bertahan, bahkan menjangkau pasar luar daerah hingga mancanegara.

Di balik keberlangsungan tradisi ini, ada peran besar para pengrajin lokal yang tak hanya melestarikan warisan leluhur, tetapi juga berinovasi agar produk tetap diminati.

Salah satunya seorang pengrajin manik-manik dari Samarinda Seberang, Purnamawati, yang telah menekuni kerajinan ini selama delapan tahun.

Ia mengaku awalnya belajar secara otodidak bermodal Rp35.000 untuk membuat gantungan kunci dan kalung secara mandiri sebelum kemudian menggandeng tetangga dan teman-temannya untuk memproduksi lebih banyak barang.

"Dulu saya coba buat sendiri, jual Rp35.000, maniknya masih sisa banyak. Dari situ saat mulai berkembang, saya mulai cari teman yang mau bantuin. Pertama cuma lima orang, ada yang buat tas, ada yang buat kalung," ceritanya, Selasa (08/07/2025).

Kini, ia dibantu 20 hingga 50 orang ibu rumah tangga yang mengerjakan pesanan dari rumah masing-masing. Pola kerja kolektif ini tidak hanya mempertahankan tradisi, tetapi juga membuka peluang ekonomi berbasis budaya.

Kerajinan manik yang mereka hasilkan tak sekadar aksesoris. Sebagian besar tetap mempertahankan ciri khas Kalimantan Timur, terutama motif Dayak dan penggunaan warna-warna cerah yang menjadi identitas budaya lokal.

"Kalau motif Dayak itu sebenarnya mirip-mirip semua, dari dulu sampai sekarang sama. Tapi saya tetap jaga kerapian dan kekuatan jahitannya," ujarnya.

Produk-produk seperti kalung, gantungan kunci, dan tas kecil dengan manik-manik warna mencolok jadi andalan. Bahkan, pesanan pernah datang dari luar negeri dan berbagai daerah seperti Berau, Tarakan, Bekasi, Jakarta, hingga Kalimantan Tengah.

Meski begitu, ia mengakui tantangan tetap ada, terutama dalam mempertahankan ketersediaan bahan baku khas dan mencari generasi muda yang mau melanjutkan tradisi ini.

"Kendalanya itu bahan baku dan pengrajin. Anak muda sekarang kelihatannya kurang minat, lebih banyak ibu rumah tangga yang tertarik," ucapnya.

Bahan baku sendiri sebagian besar ia datangkan dari Surabaya, lalu disalurkan ke para pengrajin di Samarinda. Setelah dirangkai, produk dijual di berbagai titik, mulai dari Citra Niaga, Balikpapan, hingga berbagai event UMKM lokal yang difasilitasi oleh pemerintah.

Ia juga rutin diundang mengikuti pameran dan pelatihan, bahkan pernah diminta untuk mengajar di Berau. Namun dari puluhan peserta, hanya satu anak muda yang tertarik belajar secara serius.

"Kalau ada yang mau belajar, boleh. Tinggal telepon saja. Kalau saya ada waktu, saya ajarin. Tapi kalau sibuk, ya mohon maaf," katanya.

Meski sebagian besar proses produksi dilakukan manual dan dalam jumlah terbatas, permintaan akan produk manik-manik tetap tinggi, terutama saat ada acara pemerintahan atau pameran kerajinan.

"Seringkali barangnya langsung habis, saya gak sempat dokumentasi. Besoknya sudah ada yang minta lagi tapi modelnya beda, saya bilang gak bisa buat yang sama karena lupa polanya," ungkapnya sambil tertawa.

Kerajinan manik bukan sekadar aktivitas ekonomi, melainkan juga ruang ekspresi dan pewarisan nilai budaya. Melalui tangan-tangan ibu rumah tangga di Samarinda, manik-manik khas Kalimantan terus memperkuat identitas budaya daerah sekaligus memberi ruang kreatif dan penghidupan yang bermakna. (skn)



Pasang Iklan
Top