
Aji Maya Melati Winawaty Samadya.(Foto: Achmad Nizar/Kutairaya)
TENGGARONG, (KutaiRaya.com) : Aji Maya Melati Winawaty Samadya, merupakan sosok perempuan tangguh yang menjaga dan melestarikan warisan budaya leluhur.
Aji Maya Melati Winawaty Samadya, perempuan kelahiran Samarinda, 21 Januari 1971, yang kini dikenal sebagai penerus napas Tari Topeng Kutai yaitu tarian sakral peninggalan Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
Perjalanan Aji Maya sapaan akrabnya, di dunia tari dimulai sejak masa kecil. Saat itu, ia belum mengenal Tari Topeng Kutai secara langsung.
"Saya waktu masih SD belum nari topeng, tapi sudah ikut latihan tari-tarian keraton seperti Kanjar Bini, kemudian waktu SMP dilanjutkan dengan Tari Kanjar Ganjur," ujarnya pada Kutairaya.com di Tenggarong, Selasa (28/10/2025).
Tarian Kanjar Bini hanya ditampilkan setahun sekali, bahkan kadang tiga tahun sekali, pada perayaan besar seperti Erau. Di sanalah dirinya sekitar kelas lima SD, Aji Maya pertama kali menari.
Ketertarikannya terhadap Tari Topeng tumbuh beberapa tahun kemudian, ketika ia duduk di bangku SMA, sekitar tahun 1988-1989.
"Saat itu saya mulai belajar mendalami Tari Topeng Kutai, belajar sedikit demi sedikit dari gerak, musik, sampai karakter tokohnya, waktu itu saya ingin sekali menari Tari Topeng penembe, hanya saja ayah saya yang merupakan maestro Tari Topeng Kutai yang hebat, menyuguhkan Tari Topeng gunung sari, " tuturnya.
Aji Maya bukanlah penari sembarangan. Ia merupakan putri dari almarhum Haji Aji Pangeran Ario Djaya Winata, maestro Tari Topeng Kutai yang sangat dihormati di kalangan istana.
"Bapak tidak pernah memberikan ilmu secara instan. Satu gerakan saja bisa saya pelajari berbulan-bulan," ucapnya.
Baginya, menarikan topeng bukan sekadar menggerakkan tubuh, tapi bagaimana kita menghayati sebuah cerita melalui tarian tersebut.
"Tari topeng itu bercerita lewat gerak tubuh. Tidak ada sinden seperti di Jawa. Jadi setiap Topeng punya watak dan karakter yang harus benar-benar dipahami," jelasnya.
Menurutnya, Seni tari topeng Kutai memiliki sejarah yang panjang. Tari ini lahir dari hubungan antara Kerajaan Kutai Kartanegara dan Kerajaan Majapahit di Jawa pada masa pemerintahan Maharaja Sultan sekitar tahun 1370-1420 Masehi.
Hasil hibridisasi antara seni tari Majapahit dan tari topeng Cirebon ini kemudian beradaptasi dengan kearifan lokal Kutai. Tari Topeng Kutai mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Aji Muhammad Martadipura ke 19.
"Kalau di Jawa, misalnya tokoh Kelana itu berwarna merah dan melambangkan amarah serta peperangan. Tapi di Kutai, Kelana berwarna putih, melambangkan rindu dan kasih seorang raja kepada kekasihnya," katanya.
Tari Topeng Kutai memiliki sekitar 12 jenis topeng, namun yang dilestarikan olehnya terdapat 7 Topeng seperti Penembe, Kemindu, Gunung Sari, Kelana, Togok, Wirun dan Pateh.
Dulunya tarian ini hanya boleh ditampilkan di lingkungan Keraton, khusus untuk acara-acara penting seperti penobatan raja, pernikahan bangsawan, kelahiran atau penyambutan tamu agung.
Kini, Tari Topeng Penembe telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTBI). Pengakuan itu pastinya menjadi kebanggaan tersendiri bagi Aji Maya Melati.
"Alhamdulillah, sangat bersyukur ya, karena ini milik Kutai Kartanegara yang harus kita jaga. Kalau bukan kita, siapa lagi yang melestarikannya," tambahnya.
Namun, menjaga warisan budaya bukan hal yang mudah, pastinya kami menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya terkait topeng dan kostum yang mulai butuh rehabilitasi.
"Topeng yang saya punya itu dari zaman dulu. Sekarang kalau pesan duplikatnya, seringkali hasilnya tidak mirip. Padahal kalau topengnya beda, rasanya saya tidak srek untuk menari," ujarnya.
Selain itu, pengrajin topeng di daerahnya kini sangat jarang. Ia berharap, ada regenerasi di pembuatan topeng agar seni ini bisa terus hidup, bukan hanya gerak dan tariannya, tapi juga simbol-simbol dalam Topeng tersebut juga.
Dari puluhan tahun perjalanan melestarikan tari topeng, ia mengaku sempat terharu dan bangga mengenang satu momen yang paling membekas di hatinya.
Pada tahun 2025 dalam sebuah festival budaya besar yaitu EBIFF, ia tampil bersama anak-anaknya membawakan tarian Topeng Kutai di panggung yang dihiasi sang ayahanda semasa muda yang tengah menari tarian Topeng Kutai.
"Saya hampir menangis waktu itu. Rasanya beliau ini hadir di situ. Saya merasa cita-cita bapak untuk menghidupkan kembali tari topeng akhirnya terwujud," imbuhnya.
Penampilan itu menjadi bukti bahwa semangat sang maestro belum padam. Bahkan kini, anak-anaknya ikut terlibat dalam sanggar tari yang ia dirikan di Tenggarong yaitu Djaya Winata Community.
"Saya tidak memaksa mereka, tapi mereka sendiri yang tertarik. Mungkin darah seni itu sudah terus mengalir," sebutnya.
Ia menyampaikan pesan untuk para generasi muda Kukar yang harus ikut melestarikan dan mencintai budaya kita sendiri.
"Sebagai generasi muda, cintailah budaya sendiri. Khususnya bagi anak-anak Kutai Kartanegara, jangan biarkan seni leluhur ini hilang. Mari kita rawat dan lestarikan, sekecil apa pun peran kita," pungkasnya. (*zar)