Tari topeng dari Sangkoh Piatu. (Foto:dok Sangkoh piatu)
TENGGARONG,(Kutairaya.com): Sanggar Seni Sangkoh Piatu merupakan sebuah wadah seni yang berdiri sebagai penerus nilai-nilai budaya Kesultanan Kutai Kartanegara. Sanggar ini menjadi rumah pelestarian seni tradisi, khususnya seni tari dan musik Kutai.
Adji Raden Muhammad Roni, pemerhati budaya dan pelaku sejarah dari Yayasan Sangkoh Piatu menjelaskan, sanggar ini merupakan metamorfosa dari semangat pelestarian yang sudah dimulai sejak 1960, waktu itu Kesultanan Kutai resmi bergabung dengan Republik Indonesia dan aktivitas adat mulai berkurang.
"Dulu ketika Keraton tidak lagi menjadi pusat budaya karena bergabungnya Kutai dengan Indonesia, pelestarian adat diserahkan kepada Perdana Menteri Kesultanan, yaitu Adji Pangeran Ratu Kusuma, dari situ benih pelestarian seni tetap hidup hingga akhirnya diresmikan menjadi yayasan Sangkoh Piatu pada tahun 2007 yang saat ini berlokasi di Jalan Ahmad Yani, no 35, Kelurahan Melayu, Tenggarong." ungkap Roni pada Kutairaya.com melalui via telepon Senin (8/9/2025).
Sangkoh Piatu sendiri bukan sekadar nama, dalam budaya Kutai, sangkoh berarti tombak, sedangkan piatu artinya satu, benda sakral ini digunakan dalam upacara adat erau, terutama pada prosesi mendirikan tiang Ayu, dalam prosesi tersebut, sangkoh piatu diikat dengan tali juwita dan kain cinde, lalu ditarik bersama oleh kerabat kerajaan dan masyarakat. Ini melambangkan persatuan, bahwa tidak ada sekat antara masyarakat dan bangsawan dalam membangun Kutai.
"Secara simbolis, sangkoh piatu adalah harapan akan persatuan masyarakat Kutai, dan melalui sanggar ini, semangat itu kami hidupkan kembali," tambahnya.
Sanggar Sangkoh Piatu, telah melestarikan berbagai jenis seni tradisional, terutama tari topeng Kutai yang dulunya hanya ditarikan di lingkungan Keraton.
Dulu ada 12 jenis topeng, namun sempat mengalami stagnasi dan hanya tersisa 3 yang masih dikenal, berkat upaya yayasan Sangkoh Piatu, kini 9 di antaranya berhasil digali dan dilestarikan kembali.
"Topeng-topeng ini bukan sekadar properti tari, tapi punya karakter dan cerita masing-masing, ada topeng kemindu, gunung sari, wirun, kelana, pateh, temenggong, togo, rangga dan lainnya," jelasnya.
Selain tarian, sanggar ini juga membina seni musik gamelan Kutai, latihan rutin dilakukann dua kali seminggu dan terbuka untuk siapa saja yang ingin belajar. Saat ini penari aktif dari Sangkoh Piatu berkisar 25 dari anak SD hingga mahasiswa.
Sangkoh Piatu juga rutin tampil dalam berbagai event budaya, baik lokal, nasional maupun Internasional.
"Seperti Festival Erau Adat, Festival Kota Raja di Kutai Kartanegara, Tenggarong International Folk Art Festival (TIFAF), Festival Topeng Nusantara dan Festival Panji di Jawa Timur dan lainnya. Pada ajang Internasional seperti IMF di Solo, banyak yang terkejut karena topeng kita punya 12 karakter, sementara di daerah lain, biasanya hanya 3 atau 4 saja," ungkapnya.
Sanggar Sangkoh Piatu mulai menyajikan tarian dengan durasi 5 menit, tujuannya agar pesan budaya tetap sampai dan mudah dipahami oleh anak-anak muda.
"Sekarang kita fokus buat satu tarian jadi satu cerita utuh yang bisa dimengerti dalam lima menit," imbuhnya.
Meski terus eksis, tantangan yang harus hadapi tetap ada, salah satunya dukungan dari pemerintah dalam hal revitalisasi perlengkapan budaya, seperti topeng-topeng yang kini sudah berumur lebih dari 100 tahun, bantuan dari pemerintah sangat dibutuhkan agar warisan budaya ini bisa dinikmati oleh generasi yang akan datang.
"Kami berharap pemerintah lebih banyak memberikan ruang dan dukungan, Kesultanan Kutai itu bagian dari sejarah panjang Indonesia," tegasnya.
Yayasan Sangkoh Piatu kini dipimpin oleh Adji Sopiyan, cucu dari Adji Pangeran Ratu Kusuma, sanggar sangkoh piatu saat ini tengah membuka bagi siapa saja yang ingin belajar seni dan budaya Kutai.
"Kami ingin membangun generasi muda Kutai yang mencintai budaya," tutupnya. (*zar)