Beberapa koleksi alat musik di Museum Samarinda. (Siti Khairunnisa/Kutairaya)
SAMARINDA (Kutairaya.com) – Museum Samarinda berdiri megah di Jalan Bhayangkara dengan arsitektur khas lokal. Atapnya menyerupai perisai Dayak, dengan sentuhan motif Sarung Samarinda yang menjadi identitas kota.
Koleksinya beragam, mulai dari replika prasasti Yupa Muara Kaman, busana Sarung Samarinda motif Belang Hatta, hingga alat tradisional dan kerajinan tangan suku Dayak.
Namun, di balik kekayaan koleksi itu, museum ini nyaris selalu sepi. Data kunjungan tahunan memang menunjukkan peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, tetapi mayoritas pengunjung adalah rombongan pelajar.
“Pengunjung masih didominasi pelajar dari jenjang TK hingga SMA,” ujar Barlin Hady Kesuma, Kepala Bidang Kebudayaan Disdikbud Samarinda, Rabu (20/8/2025).
Barlin mengakui, masyarakat umum belum menempatkan museum sebagai ruang rekreasi atau aktivitas keluarga.
“Orang tua lebih memilih ke mal atau kegiatan olahraga,” ujarnya.
Padahal, Museum Samarinda sudah berupaya menghadirkan konsep 3B: Belajar, Bermain, dan Berbudaya, termasuk dengan menyediakan layar sentuh untuk menyesuaikan kebutuhan generasi digital.
Barlin menambahkan, keberlangsungan museum juga bergantung pada dukungan regulasi. Salah satunya Peraturan Wali Kota yang memungkinkan masyarakat mendaftarkan atau menghibahkan benda bersejarah yang mereka miliki.
“Selama ini masyarakat khawatir kalau benda berharga mereka tidak dirawat. Padahal kami punya tim kurator dan edukator untuk menjaga koleksi itu,” ungkapnya.
Sejarawan publik Muhammad Sarip menilai, rendahnya minat pengunjung nonpelajar juga dipengaruhi pola kunjungan yang sangat bergantung pada imbauan sekolah.
“Kalau tidak ada sistem imbauan ke sekolah, museum akan sangat sepi. Saya pernah datang jam 2 siang di hari kerja, tidak ada pengunjung sama sekali. Buku tamunya kosong,” terangnya.
Sarip juga mengenang sejarah berdirinya museum yang jarang diketahui publik. Bangunan ini dulunya merupakan lokasi SMA Negeri 1 dan SMP Negeri 1 Samarinda yang dibongkar pada 2014. Karena desakan alumni, pemerintah kota akhirnya membangun museum sebagai bentuk kompromi.
“Awalnya hanya Museum SMP dan SMA 1, lalu diperluas jadi Museum Samarinda,” tuturnya. (Skn)