Kantor Kemenag Kaltim, Jalan Basuki Rahmat, Samarinda. (Siti Khairunnisa/Kutairaya)
SAMARINDA, (Kutairaya.com): Baru-baru ini Polres Kutai Kartanegara menangkap seorang pria berinisial MA, yang diduga ustaz, atas dugaan pencabulan terhadap tujuh santri laki-laki di sebuah pondok pesantren di Kecamatan Tenggarong Seberang. Kasus terungkap setelah Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) menindaklanjuti laporan dari orang tua korban.
Menanggapi kasus ini, Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Timur, Abdul Khaliq, menyayangkan bahwa terkadang kejadian di pondok pesantren ditutup-tutupi oleh pihak internal sehingga baru terbongkar belakangan.
“Pengawasan yang utama sebenarnya ada pada pimpinan pesantren, ustaz, dan kiai. Kalau ada kejadian, seharusnya segera ditindaklanjuti, jangan ditutupi. Itu justru merugikan karena masalah akhirnya terbongkar juga,” ucap Khaliq, Selasa (19/8/2025).
Ia menekankan pentingnya transparansi agar nama baik lembaga tetap terjaga dan kasus serupa bisa dicegah.
Sementara itu, Ketua Tim Pesantren Kemenag Kaltim, Netti, menyoroti masalah administratif terkait izin pondok pesantren dan menyebut masih banyak pondok yang tidak mengetahui prosedur pengajuan izin resmi.
“Ada yang sudah berjalan bertahun-tahun, ternyata tidak memiliki izin. Bukan karena sengaja, tapi banyak yang belum tahu aturan mengajukan resmi. Kami hanya bisa membina dan mengarahkan mereka agar prosedur terpenuhi,” ujar Netti.
Netti menambahkan, Kemenag Kaltim melakukan pembinaan melalui verifikasi data, pengawasan sarana-prasarana, dan koordinasi dengan KUA setempat. Tujuannya agar pesantren beroperasi sesuai standar, memiliki kiai, santri, kitab, dan fasilitas yang memadai.
“Kalau pesantren sudah memenuhi syarat, barulah kami bantu proses izin resmi ke pusat. Dengan begitu, pengawasan lebih terkontrol dan risiko pelanggaran bisa diminimalkan,” katanya.
Menurut data Kemenag Kaltim per Juli 2024, terdapat lebih dari 200 pondok pesantren di wilayah ini yang sudah memiliki izin resmi, sementara sejumlah pesantren baru atau yang belum lengkap persyaratannya tetap mendapat pembinaan.
Pihak Kemenag menyebut bahwa pembinaan dan transparansi lebih efektif daripada menutup pesantren, karena menutup lembaga tidak menyelesaikan masalah dan justru merugikan santri lain yang ingin belajar dengan baik. (Skn)