
Kepala UPT Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) Kukar Faridah.(Foto: Andri Wahyudi/Kutairaya)
TENGGARONG, (KutaiRaya.com): Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) mencatat sebanyak 198 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak hingga pertengahan Desember 2025.
Data ini dihimpun melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) Kukar.
Kepala UPT P2TP2A Kukar, Faridah mengemukakan, ratusan kasus tersebut, terdiri atas kekerasan fisik, psikis, seksual, kekerasan ekonomi, anak berhadapan dengan hukum, hingga tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
“Dari total 198 kasus yang kami tangani sepanjang Januari hingga Desember 2025, yang paling mendominasi adalah kekerasan seksual. Disusul kekerasan psikis dan kekerasan fisik,” kata Faridah, Rabu (17/12/2025).
Ia menjelaskan, mayoritas korban merupakan anak perempuan.
Berdasarkan data UPT P2TP2A, korban perempuan tercatat sebanyak 86 kasus, sementara korban laki-laki 66 kasus.
“Perempuan, khususnya anak perempuan, masih menjadi kelompok yang paling rentan menjadi korban kekerasan,” ujarnya.
Dilihat dari wilayah, kasus kekerasan paling banyak terjadi di Kecamatan Tenggarong dengan jumlah sekitar 100 kasus.
Hal ini sejalan dengan jumlah penduduk Tenggarong yang lebih besar dibandingkan kecamatan lain.
Posisi kedua ditempati Kecamatan Tenggarong Seberang, disusul Kecamatan Loa Janan.
Sementara dari sisi usia, korban kekerasan paling banyak berada pada rentang usia 6–12 tahun, kemudian disusul usia 13–17 tahun.
Faridah menegaskan, seluruh laporan yang masuk ke UPT P2TP2A ditangani dan didampingi secara menyeluruh.
“Setiap kasus kami dampingi dari awal laporan hingga proses hukum selesai. Proses pendampingan bisa memakan waktu hingga 3 bulan, apalagi jika sudah masuk tahap persidangan,” tuturnya.
Selain pendampingan hukum dan psikologis, UPT P2TP2A juga melakukan pemantauan lanjutan terhadap para korban.
Jika ditemukan kondisi mental korban menurun atau masih membutuhkan intervensi, pendampingan akan kembali diberikan.
Terkait faktor penyebab, Faridah menyebutkan faktor ekonomi dan lingkungan menjadi pemicu utama terjadinya kekerasan seksual.
Dalam beberapa kasus, korban diiming-imingi bantuan ekonomi.
Selain itu, lingkungan yang sepi, kurangnya kepedulian sosial, serta lemahnya tanggung jawab moral turut berkontribusi.
“Yang cukup memprihatinkan, pelaku kekerasan dalam rumah tangga masih didominasi oleh orang terdekat, bahkan ayah kandung. Tahun ini terdapat 34 kasus kekerasan dengan pelaku ayah kandung, baik kekerasan seksual maupun psikis,” ucapnya.
Faridah juga mengakui jumlah kasus pada 2025 mengalami peningkatan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.
Kukar tercatat sebagai daerah dengan kasus kekerasan tertinggi ketiga di Kalimantan Timur.
Namun, peningkatan ini juga dipengaruhi oleh meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melapor.
“Sekarang masyarakat sudah lebih berani melapor. Bahkan yang melapor tidak selalu orangtua korban, bisa guru, tetangga, atau pihak lain yang mengetahui adanya kekerasan. Call center kami aktif menerima aduan setiap hari,” ujarnya.
Ia mengibaratkan kasus kekerasan seksual sebagai fenomena gunung es.
Dengan adanya layanan pengaduan yang mudah diakses dan pendampingan yang aman, kasus-kasus yang sebelumnya tersembunyi kini mulai terungkap ke permukaan.
“Kami hadir untuk mendampingi korban agar tidak takut. Banyak korban dan keluarga yang ragu melapor langsung ke kepolisian, tetapi dengan pendampingan dari kami, secara psikologis mereka menjadi lebih kuat,” tambah Faridah.
Ia menegaskan, pihaknya tetap berpihak pada korban meskipun kerap mendapat intimidasi dari pelaku atau pihak tertentu.
“Kami tidak gentar, karena tugas kami adalah melindungi korban,” ucapnya tegas.
Faridah mengimbau seluruh elemen masyarakat agar bersama-sama menekan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui peningkatan kepedulian lingkungan, edukasi keluarga, serta pendidikan seks usia dini.
“Anak harus tahu bahwa sentuhan di bagian sensitif adalah pelecehan. Mereka harus berani berbicara dan melapor kepada orangtua atau pihak yang bisa menolong,” katanya.
Sementara itu, Ketua DPRD Kukar, Ahmad Yani menerangkan, kekerasan seksual tidak hanya terjadi di lingkungan pendidikan, tetapi juga dapat terjadi di instansi pemerintah, Organisasi Perangkat Daerah (OPD), hingga lingkungan keluarga.
Menurutnya, keberadaan regulasi yang tegas sangat penting untuk memberikan perlindungan maksimal kepada masyarakat.
DPRD Kukar juga memastikan akan menyelesaikan kajian secara menyeluruh sebelum mengeluarkan rekomendasi resmi, khususnya terkait lembaga pendidikan yang tengah menjadi sorotan.
“Lembaganya bisa tetap berjalan, tetapi oknum yang melakukan pelanggaran harus diproses hukum. Ibaratnya, jika ada tikus di rumah, yang ditangkap adalah tikusnya, bukan rumahnya yang dibakar,” ucap Yani. (Dri)