
Dr. H. Suid Saidi, Dekan FKIP Unikarta.(Andri wahyudi/kutairaya)
TENGGARONG, (KutaiRaya.com): Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta), Dr. H. Suid Saidi, menilai sistem pendidikan dasar di Indonesia masih perlu dievaluasi, khususnya terkait materi ajar yang dinilai terlalu berat dan belum sesuai dengan tahap perkembangan anak usia sekolah dasar (SD).
Menurutnya, pembelajaran di tingkat SD seharusnya berfokus pada hal-hal yang bersifat konkret dan nyata, bukan pada konsep abstrak yang sulit dipahami oleh anak usia 6–12 tahun.
"Kalau kita melihat dari perspektif psikologi perkembangan anak, seperti menurut teori Erikson dan pendidikan modern, anak SD berada pada tahap operasional konkret. Artinya, mereka baru bisa memahami sesuatu yang nyata dan dapat diamati hasilnya. Sedangkan kemampuan berpikir abstrak baru berkembang di jenjang SMP atau SMA," kata Suid, Kamis (13/11/2025).
Ia mencontohkan beberapa mata pelajaran di SD yang dinilai terlalu kompleks, seperti aljabar formal, pecahan yang rumit, hingga konsep-konsep sains seperti elektro, atom, dan sistem peredaran bumi.
Materi semacam itu, katanya, belum sesuai dengan karakteristik berpikir anak SD yang lebih cocok belajar melalui pengalaman langsung.
"Untuk anak SD sebaiknya belajar yang nyata, seperti tentang air mendidih, hujan turun, tumbuh-tumbuhan, atau proses memanen. Itu yang sesuai dengan tahap mereka, bisa diamati dan dipraktikkan," tuturnya.
Selain itu, Suid juga menyoroti pelajaran Bahasa Indonesia di SD yang menurutnya belum menekankan aspek pengembangan imajinasi dan ekspresi anak.
Ia menyarankan agar pembelajaran bahasa diarahkan pada kegiatan, seperti menulis cerita, membaca dengan ekspresi, serta menyimpulkan isi bacaan dengan perasaan gembira.
Lebih lanjut, Suid menilai berkurangnya waktu bermain juga menjadi salah satu penyebab menurunnya kreativitas dan sportivitas anak.
"Sekarang anak SD pulang sekolah bisa sampai pukul 14.30, bahkan lebih, dengan sistem full day school. Padahal bermain yang terkonsep justru merupakan bagian dari proses pendidikan. Melalui bermain, anak belajar sportif, kreatif, dan membangun imajinasi," ujarnya.
Ia menyebutkan, permainan yang terbimbing, seperti bermain peran, tebak-tebakan, atau kegiatan yang melatih kerja sama dan keseimbangan bisa menjadi sarana pembelajaran efektif bagi anak SD.
Sebagai perbandingan, Suid mencontohkan sistem pendidikan di Tiongkok, di mana anak SD sudah diarahkan pada kegiatan learning to do atau pembelajaran melalui keterampilan praktis.
Namun, ia menegaskan konsep tersebut tidak bisa diterapkan sepenuhnya di Indonesia karena perbedaan karakter dan budaya anak.
"Bagi anak SD di Indonesia, yang utama adalah bagaimana mereka belajar menghormati orangtua, bersikap sopan, serta mampu berkomunikasi dengan baik. Itulah pendidikan dasar yang sesungguhnya," ucapnya. (dri)