• Jum'at, 17 Oktober 2025
logo
DPRD Provinsi Kalimantan Timur



Proses Penguluran naga ke sungai Mahakam.(Foto: Achmad Nizar/KutaiRaya)


TENGGARONG, (KutaiRaya.com) : Prosesi penguluran naga dan Belimbur yang merupakan rangkaian Festival Erau Adat Kutai 2025 berlangsung meriah, di Halaman Keraton Kutai Kartanegara, Minggu (28/9/2025).

Pamong Budaya Ahli Muda Bidang Cagar Budaya Disdikbud Kukar, M. Saidar menjelaskan, bahwa prosesi penguluran naga bukan sekadar ritual, melainkan sejarah dari kisah leluhur yang diwariskan secara turun temurun.

Bermula dari seorang petinggi Ulu Dusun dan istrinya Babu Jelmu yang tinggal di Gunung Jahitan Layar, Kutai Lama. Awalnya sang petinggi menemukan seekor hulat (makhluk kecil mirip ulat) di dalam batang haur kuning (bambu kuning) yang kemudian mereka pelihara.

"Ulat itu makin hari makin membesar dan akhirnya menyerupai naga, mereka membuatkan pondok, lalu membangun struktur tujuh ruang ke hulu dan tujuh ruang ke hilir. Tapi naga itu tak mau turun ke air, sampai mereka mendapatkan petunjuk melalui mimpi," ujar Saidar pada Kutairaya.com.

Dalam mimpinya, naga meminta dibuatkan tangga khusus, dan sesajen seperti klengkeng, beras kuning, bunga melur dan air bunga. Setelah semua disiapkan, sang naga akhirnya mau turun ke air, diiringi Babu Jelmu dan petinggi Ulu Dusun.

"Naga itu kemudian menjunjung Lembuswana dan memunculkan Putri Junjung Buya, anak perempuan dalam sebuah balai dengan 41 tiang, lengkap dengan gong bernama Gong Raden Galuh," ucapnya.

Kemudian setelah naga diulur kesungai Mahakam, ia akan dibawa mengelilingi daerah-daerah seperti Tenggarong dan berputar tiga kali sebelum akhirnya menuju Kutai Lama.

Sebelum sampe di sana, naga biasanya singgah terlebih dahulu di Samarinda Seberang, yang oleh masyarakat Kutai disebut sebagai tempat bekenyawa.

"Biasanya yang membawa naga adalah para kerabat kerajaan, bahkan bisa seorang pangeran. Di Samarinda Seberang, ada prosesi singgah sebelum naga melanjutkan perjalanannya ke Kutai Lama," tambahnya.

Sementara itu, Pangeran Notonegoro Kesultanan Kutai Ing Martadipura Muhammad Heriansyah mengatakan, makna dari prosesi Belimbur adalah tradisi menyiram air kepada sesama menjelang penutupan Erau.

"Belimbur itu untuk penyucian diri, selama setahun mungkin kita banyak melakukan kesalahan. Nah melalui belimbur, kita berharap segala kotoran dan energi negatif dalam diri dibersihkan agar muncul aura positif," jawabnya.

Belimbur dimulai dari Sultan yang memercikkan air tuli di Ranggatiti, yang merupakan tanda awal pembersihan diri Sultan dan kerabat setelah menjalani proses bepelas selama satu minggu.

"Setelah selesai Bepelas, Sultan dianggap sudah sah menginjak tanah. Artinya sudah hilang pamalinya, biasanya, air tuli dibawa dari Kutai Lama dan dicampur dengan air sungai mahakam," ujarnya.

Saat Sultan mencelupkan bunga mayang ke dalam guci dan memercikkan air ke masyarakat, maka prosesi belimbur pun resmi dimulai.

Ia juga menyampaikan, agar masyarakat tidak menyalah artikan prosesi Belimbur dengan tindakan yang melanggar adat.

"Jangan sampai belimbur tercoreng dengan tindakan kekerasan seksual, menyiram dengan cara kasar. Belimbur punya tata cara dan etika," pungkasnya. (*zar)



Pasang Iklan
Top