Pembukaan Erau adat Kutai 2025 ditandai pemukulan gong oleh Sultan Aji Muhammad Arifin.(Foto:Achmad Nizar/Kutairaya)
TENGGARONG, (KutaiRaya.com) : Mungkin terdapat beberapa masyarakat di Kukar dan Kaltim pada umumnya yang belum mengetahui banyak terkait Erau Adat Kutai. Padahal, ini adalah salah satu warisan budaya tertua di Kutai yang masih hidup hingga hari ini.
Erau ini dirayakan di Kota Tenggarong, Kabupaten Kukar. Erau bukan hanya sekadar festival, melainkan tradisi sakral dari sejarah yang mendalam bagi kerajaan Kutai.
"Erau itu dari kata Eroh yang berarti suka cita, kegembiraan dan bahagia. Erau itu ada yang dieraukan dan ada yang mengeraukan," ujar Pangeran Notonegoro Kesultanan Kutai Ing Martadipura, Muhammad Heriansyah pada Kutairaya.com di Tenggarong, Sabtu (27/9/2025).
Erau adalah pesta rakyat, namun dalam maknanya, Erau adalah proses adat yang diselenggarakan oleh Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura untuk memuliakan Sultan dan menyatu bersama dengan rakyat atau masyarakat.
"Yang dieraukan adalah Sultan sebagai tokoh, kemudian yang mengeraukan adalah kerabat Kesultanan, yang melayani dan mengatur jalannya kegiatan, dan yang Erau atau bergembira adalah seluruh rakyatnya, " ungkapnya.
Tradisi ini sudah ada sejak masa raja Kutai Kartanegara, Aji Batara Agung Dewa Sakti, yang disebut pertama kali dieraukan saat usianya baru 7 tahun. Dalam mimpi orang tuanya, ia harus dieraukan selama 40 hari 40 malam sebelum turun ke tanah.
"Tapi kalau sekarang, hanya dilakukan 7 hari saja," sebutnya.
Sebelum Erau dimulai, banyak ritual sakral yang harus dilakukan oleh pihak Kesultanan seperti ziarah ke makam leluhur.
"Karna kita sudah bertransformasi ke muslim, jadi pertama yang kita lakukan adalah ziarah atau mengunjungi makam para raja dan kerabat Kesultanan untuk mendoakan mereka. Ini bentuk bakti serta harapan agar acara berlangsung lancar, " paparnya.
Setelah berziarah, Kesultanan akan melakukan kegiatan Besawai. Besawai adalah ritual untuk memberi tahu pada alam gaib bahwa Erau akan dimulai.
"Kerabat Kesultanan akan melakukan upacara pada benda-benda pusaka seperti singa nolek dan gong galoh, " ujarnya.
Kemudian, terdapat namanya ritual merangin. Ritual merangin ini dilakukan oleh para tokoh adat belian dari Kedang Ipil, sebagai bentuk penyucian spiritual.
Selain merangin, terdapat ritual sakral yang dilakukan juga oleh adat Belian, yaitu Bepelas. Bepelas ini tujuannya untuk menyucikan Sultan dari energi negatif serta memulihkan karisma, kearifan dan kebijaksanaannya.
Kemudian terdapat ritual Beluluh. Beluluh ini berasal dari kata buluh dan luluh, yang artinya meluluhhkan energi negatif untuk Sultan. Beluluh ini dilakukan di kedaton Kutai Kartanegara.
"Tujuannya supaya aura positif Sultan ini muncul dan diberikan kekuatan baik fisik maupun mental," tuturnya
Setelah itu dilakukan kegiatan mendirikan Tiang Ayu sebagai simbol resmi Erau telah dimulai. Tiang ini didirikan oleh para kerabat dan tokoh penting daerah atau pejabat tinggi.
"Dengan berdirinya Tiang Ayu, Erau resmi dimulai, rakyat dan sultan harus bersuka cita bersama," ucapnya.
Makna Erau itu sendiri tidak hanya tentang spiritual, didalamnya juga mengandung doa dan harapan agar hasil pertanian, perkebunan, dan hutan melimpah untuk tahun kedepannya.
Pangeran Heriansyah mengaku, bahwa selama berlangsungnya kegiatan Erau pasti adanya tantangan, terutama di era digital saat ini.
"Sekarang banyak yang pro dan kontra, tapi kita selalu menggandeng para ulama, tokoh masyarakat, supaya tidak ada penyimpangan dalam pelaksanaannya," tegasnya.
Kemudian, salah satu proses yang paling ditunggu masyarakat adalah Belimbur tradisi siram-siraman air di jalanan. Meski terlihat seperti permainan, Belimbur ini memiliki arti atau makna yang sangat dalam.
"Belimbur itu menyucikan diri, membersihkan energi negatif dari tubuh kita, supaya kita memasuki tahun baru dengan hati yang bersih," jelasnya.
Belimbur biasanya dilakukan bersamaan dengan pelarungan naga atau pelepasan naga, ritual ini melambangkan pelepasan energi negatif dan harapan baru untuk kedepannya.
"Dulu, pelarungan naga dilakukan di desa Kutai Lama, tempat berdirinya kerajaan Kutai Kartanegara pada abad ke 13, awalnya Kutai lama berada di Anggana dan berpindah ke Tenggarong karena keamanan, yang dimana dulunya sering terjadi perampokan, " tuturnya.
Erau ini merupakan bukti peralihan sejarah Kutai, yang sebelumnya dari kerajaan Hindu, sekarang bertransformasi menjadi Kesultanan Islam.
Kerajaan Kutai Martadipura dengan Raja Mulawarman adalah kerajaan tertua pada abad ke 4, sedangkan Kesultanan Kutai Kartanegara berdiri pada abad ke 13 dan memeluk Islam pada abad ke 16.
"Kalau kerajaan itu Hindu. Kalau Islam itu disebut kesultanan," imbuhnya.
Sebagai simbol berakhirnya Erau, Tiang Ayu yang sebelumnya didirikan akan direbahkan kembali. Tahun ini, penutupan itu akan dilakukan pada hari Senin 29 September 2025.
Erau ini juga dilakukan pada bulan September karena bertepatan dengan HUT Kota Tenggarong dan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
"Makanya pada saat itu kita ada melaksanakan Maulid Bejanji, yang tujuannya supaya kita dapat diberkahi dan dilancarkan kegiatan Erau ini, dengan Erau, semoga kita semua diberkahi, dirahmati, dan mendapat syafaat Rasulullah di akhirat nanti," tambahnya.
Dalam Hal lain Pemkab Kukar melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kukar ikut mendorong pelaksanaan Erau ini agar berjalan lancar.
Kabid Kebudayaan Disdikbud Kukar Puji Utomo menyatakan, Disdikbud Kukarjuga ikut berperan dalam pembinaan dan pelestarian tradisi, termasuk kegiatan seperti Beseprah dari Disdikbud Kukar.
Pihaknya juga mengadakan lomba seni budaya tradisional Kutai sebagai pelestarian budaya, lomba tersebut seperti bertarsul, kemudian nyanyi tinggilan, jepen kreasi Kutai, dan lomba menyanyi lagu daerah khusus untuk anak-anak, yang dilakukan di Halaman Stadion Rondong Demang
"Dari tahun ke tahun kami terus evaluasi dan mengembangkan kegiatan yang sesuai agar tradisi ini bisa hidup dan berkembang, kedepannya," ujarnya
Erau ini juga sangat berdampak bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat di Kukar. Pengamat Kebudayaan Awang Rifani mengatakan, bahwa Erau ini memberikan dampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat Kukar. Mulai dari keterlibatan pelaku UMKM di berbagai stan, hingga pelestarian budaya yang terkini di kalangan anak.
"Artinya ketika pemerintah melaksanakan, dan Kesultanan melaksanakan, itukan dampak dampak sistemik kepada masyarakat, misalnya UMKM itu terlibat di berbagai stand.
Kemudian selanjutnya masyarakat yang dilibatkan dipanggung-panggung hiburan budaya, " tutupnya.
Untuk itu, sudah seharusnya seluruh rakyat Kutai Kartanegara dapat melestarikan budaya Adat Erau ini. Diharapkan, momentum tersebut juga dapat menumbuhkan kesucian diri dan semangat membangun daerah. (*zar)