Diskusi di HH Pokja-30 terkait dengan keterbukaan Informasi Publik, Kamis (02/10/2025).(Foto:Abi/KutaiRaya)
SAMARINDA, (kutaiRaya.com) : Forum Himpunan Kelompok kerja-30 (FH Pokja-30) yakini Kalimantan Timur belum sepenuhnya membuka keterbukaan informasi publik. Salah satunya, terkait informasi publik di sektor ekstraktif.
Sebelumnya, Komisi Informasi (KI) melakukan kunjungan untuk melakukan monitoring dan evaluasi (monev) terhadap kepatuhan badan publik untuk memberikan keterbukaan informasi kepada publik.
Dari hasil monev, dengan sistem Self-Assessment Questionnaire (SAQ). KI mendapatkan sebanyak 82 dari 400 badan publik telah mengisi SAQ dan mendapat predikat informatif di tahun 2025. Hal ini menjadi capaian tertinggi KI dari tahun sebelumnya, yang hanya dipenuhi oleh 54 dari 362 badan publik yang mendapat predikat informatif.
“Semua daerah kita lakukan Monev. Di Paser ada 4 badan publik yang telah mengisi SQA dengan nilai 90, PPU ada 7 badan publik. Komisioner KI yang lainnya juga kita sebar ke daerah lainnya di Kaltim,” ungkap Ketua KI Prov. Kaltim, Imran Duse pada sesi wawancara pada 9 September 2025 lalu.
Tidak semua menganggap Kaltim telah melakukan keterbukaan informasi publik pada badan publik yang ada. Salah satunya FH Pokja-30, menurutnya negara belum melakukan keterbukaan informasi publik secara menyeluruh. FH Pokja-30 menilai, keterbukaan informasi publik di indonesia masih hanya sebatas euforia belaka.
“Sudah 17 tahun UU KIP ini dihadirkan, tapi keterbukaan informasi untuk sektor pertambangan masih nol. Faktanya, pemerintah lebih suka bersembunyi di belakang kalimat ‘pengecualian’, ketimbang memberikan transparansi. Padahal itu sudah menjadi hak masyarakat,” ungkap Ketua FH Pokja-30.
Tidak hanya itu, dirinya juga mengkritik sistem transparansi yang masih abu-abu. Menurutnya, informasi yang ditutup akan memberikan ruang tanpa sanksi bagi pelaku korupsi.
“Informasi tertutup akan mempertegas praktik korupsi di sektor-sektor apapun itu. Paling tepat di sektor sumber daya alam,” tegasnya.
Sebagai bukti masih abainya pemerintah terhadap keterbukaan informasi publik, benang merah atas kasus sengketa keterbukaan informasi antara masyarakat dan PT Kaltim Prima Coal (PT.KPC), terhadap permohonan dua warga Kutai timur sejak tahun 2022 silam, untuk memperlihatkan dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), Rencana Induk Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (RIPPM) Perusahaan, serta Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) milik PT. KPC ditolak oleh Kementerian Energi Sumberdaya Mineral (ESDM).
Meskipun, warga Kutim menang atas gugatan di Komisi Informasi Pusat (KIP), ESDM justru melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
“AMDAL, RKAB, RIPPM itu bagian dari informasi publik. Ini buka hanya soal boleh dan tidak, tapi ini amanat UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan informasi publik,” tegas Erwin FS, salah satu warga Kutim yang meminta transparansi dokumen PT KPC.
Untuk itu, FH Pokja-30 menegaskan bahwa keterbukaan informasi publik masih belum menampilkan sosok pemerintahan yang benar-benar transparan. Pasalnya, keterbukaan informasi merupakan pondasi utama bagi keadilan sosial, serta bagaimana pengelolaan sumber daya alam yang sesuai dengan amanat UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. (*Abi)